Jumat, 25 Mei 2012

puzzle

ada apa sebuah cinta bertahta? / Pada apa seuntai nada terlantun? / Pada KAMU yang menjadi senyum / Diantara hari hari yang berlomba

Lalu simpul kenangan terajut satu satu / Jejak jejak hidup yang perlahan berputar / ADALAH nyata di titik ini / Menjadi kamu, dan cuma kamu

Perkasamu wanita, adalah SEBAIT doa / Yang kau lantunkan setiap pagi / Menjelma KEINDAHAN dalam hari / Merekahkan senyum tak habis, tak putus

Satu persatu pertarungan batin bergolak / Namun cahaya SURGA dari mata bunda memberimu asa tak henti / Mimpimu sederhana / Mimpi YANG sepenuh hati

Sudahkah kau tahu tentang satu hal? / Bahwa DIBERI sahabat sepertimu adalah anugerah / Dicintaimu adalah satu maha karya Tuhan padaku / KE hatimu, segala kegembiraan tertuju / BUMI menjadi lebih indah karena hadirmu


Adakah hari ini berarti? / Ataukah berlalu begitu saja? / Adakah ada makna yang kau beri UNTUK hari ini?/  Ataukah akan kaubiarkan ia sama

Hari ini haruslah dimaknai bahwa hadirmu MEMBAHAGIAKAN / Ada senyum di setiap tempat yang kau datangi / Ada ceria yang kau tawarkan di setiap waktu yang kau sambangi / Kau keindahan DAN kekeceriaan

Selamat Milad Sayang / Meski tak ada di sisimu saat ini / Namun doa mengalir tak henti untukmu / Terimakasih Tuhan, telah DIBAHAGIAKAN dengan kehadiran seorang Acha di hidupku / Semoga Allah makin menyayangimu.

*kado ke 2 dari caca Febry Waliulu*

Kamis, 24 Mei 2012

Senja, Mimpi, Kita

Kami menamainya senja. Karena dia indah seindah senja. Coba saja duduk dan nikmati peralihan senja menuju malam. Peralihannya cantik, anggun dan sabar. Begitulah dia. Menatapnya adalah keindahan senja yang langitnya selalu beda tapi selalu indah. Menatapnya adalah ungkapan syukur tak henti karena telah mengenalnya.

Mengenalnya setaun lalu adalah cerita bahagia yang dimulai dan tak akan diakhiri. Duduk berempat bersama Roe dan Sita selepas keliling GOR BK untuk pameran buku. Di sela makan siang itu, kami bertiga (selain acha) cerita heboh dengan dialek Ambon dan gak peduli orang sekitar. Dan Acha hanya ber-hooh-ria atau ngangguk ngangguk saja. Awalnya kupikir karena ini pertemuan perdana dia jadi masih pendiam. Iseng kutanya “Sudah berapa lama di Jakarta? Kalo di Ambon tinggal dimana? Terkhir ke Ambon kapan?” Dan terungkaplah fakta bahwa perempuan manis ini berdarah setengah Ambon dan belum pernah menginjakkan kakinya di Ambon. Jedeer… kutanya lagi “ngerti bahasa Ambon?” yang tentu saja dijawab “Tidak” olehnya. Ahay, pantas saja cuma ngangguk ngangguk. Tidak mengerti ternyata, sodara sodara. Ini kalo tadi dia digosipin juga gak tahu kali ya

Sejak itulah, keakraban mulai tercipta dan puncaknya pada malam 24 Juli 2011 di Plaza Semanggi. Orang pertama yang datang dan harus menunggu kami yang lain. Saat menunggu itu, Alhamdulillah darah Jawanya yang mendominasi, jadi sabaaaar banget. Kalo darah Ambon, sudah ngamuk ngamuk tuh dianggurin sekian lama karena yang lain kena macet jalan. Saya waktu itu malah salah naik bus Trans Jakarta yang akhirnya malah muter muter dulu. Pertemuan perdana yang kalem nan pendiam itu berganti dengan pertemuan kedua yang heboh, penuh canda dan terciptalah satu keluarga baru.

Persahabatan dan persaudaraan dengan Acha semakin special ketika untuk pertamakalinya dia ke Ambon justru untuk menghadiri pernikahanku. See… betapa saya merasa begitu special dalam hidupnya. Satu mimpiku dan satu mimpi Acha terjadi bersamaan. Dari mimpi mimpi itu, lahirlah mimpi mimpi lain kami. Semoga semua tercapai satu demi satu. Kau senja yang elegan, kau senja yang menyisakan harap setelah berjuang. Kau senja yang sahaja.

Kau tahu apa yang indah sist? Ketika gerimis terjadi saat senja. Saat itu ku merasa aku dan kamu satu.
Miladun barokah sayang. Semoga Allah mengijabah setiap doamu. Membuatmu bahagia di dunia dan di akhirat.

*ditulis sebagai kado ultah dari caca qu tersayang Febry Waliulu, danke caca*

Senin, 21 Mei 2012

-Red Stone-


Terlahir dengan darah ambon menglir di tubuh sempat membuat diri ini minder semasa kecil. Postur tubuh yang cukup besar dibanding teman-teman sebaya, kulit sawo matang dan rambut  keriwil adalah ciri khasku. Dan karena ciri itu, teman teman pria sering mengejek. Jika ada yang bertanya tentang asal, dengan takut takut dan suara lirih aku berucap  “Aku orang Ambon” dan reaksi mereka selalu sama. “Pantas itam dan keriting rambutnya”.  Ada kesal dalam hati. Apa ada yang salah kalau hitam dan berambut keriting?
Perlahan aku jenuh dengan reaksi itu dan memilih jawaban lain jika ada yang bertanya. Dengan lantang aku akan menjawab bahwa aku orang Jawa. Tidak seratus persen salah, karena ibu memang berasal dari tanah Jawa. Tapi itu bukan berarti aku melupakan darah Ambon yang mengaliri tubuh. Dibesarkan dengan dua kultur yang berbeda, kultur Ambon dan Jawa yang pada beberapa hal sangat bertolakbelakang, membuat sifatku berwarna. Entah mengapa, sejak kecil aku lebih senang dengan panggilan sayang “nona” dibanding “mbak”. Aku pun lebih senang mendengar oma badonci lagu Ambon daripada mendengar nenek menyinden. 

Hidup di antara dua budaya, dua keyakinan, membuat aku mengerti arti toleransi sejak kecil. Bagaimana hidup harus dimaknai dengan menghormati satu sama lain, serta tidak memaksakan pendapat atau keyakinan masing-masing. Semua itu indah, damai. Keindahan itu semakin terasa ketika kami merayakan 2 hari raya bersama-sama, saling mengunjungi saudara saat natal dan juga lebaran tanpa ada rasa dendam atau berusaha menyakiti satu sama lain. 

Menurut cerita almarhum Oma, Oma berasal dari desa Batu Merah, Ambon. Desa yang indah di kota yang indah. Mendengar cerita beliau, aku hanya bisa menghayal seperti apa negeri indah itu. Khayalanku sebatas foto foto dan video lampau tentang oma, tanpa pernah berkunjung kesana. Harapan untuk bisa menginjakkan kaki di negeri Oma itu sempat pupus saat konflik berdarah di Ambon tahun 1999. Peristiwa itu membuat semua keluargaku mengungsi dari Ambon. Kata mereka, perang saudara lebih kejam dari perang melawan penjajah. Ketiadaan mereka di Ambon, maka alasan apa lagi yang bisa membawaku kesana? Ah….

Aku memang tidak besar dan lahir disana, tapi dibesarkan dengan budaya Ambon, juga dengan merah darah Ambon yang mengaliri tubuh, membuatku ikut menangis miris melihat beberapa peristiwa bentrok. Darah mereka yang tertumpah, adalah darah yang sama yang kupunya. Maka adalah sakit yang kurasa ketika melihat mereka saling melukai lagi. Aku yang karena persaudaraan lain, telah sempat menginjakkan kaki di bumi itu, menghirup aroma tanah Maluku, telah menikmati indahnya panorama pantai Ambon, sejuknya semilir angin pantai natsepa dan pantai liang, kini tertunduk bertanya “kenapa Ambon yang manis harus terluka lagi? Siapakah yang tidak punya hati mau merusak keindahannya?”

Sekarang, aku hanya mau teriak “BETA MALUKU, BETA BANGGA DENG MALUKU”. Meskipun kontribusiku belum banyak untuk Maluku, tapi  aku cinta. Dan tak mau Ambon Manise kembali terluka. Mari saling bergandeng tangan, jangan biarkan Ambon kembali terluka.

*19 mei dini hari, rindu ambon, rindu senja di ambon, rindu semua saudara qu di ambon, thanks to senja bwt obrolan singkatnya*