Senin, 21 Mei 2012

-Red Stone-


Terlahir dengan darah ambon menglir di tubuh sempat membuat diri ini minder semasa kecil. Postur tubuh yang cukup besar dibanding teman-teman sebaya, kulit sawo matang dan rambut  keriwil adalah ciri khasku. Dan karena ciri itu, teman teman pria sering mengejek. Jika ada yang bertanya tentang asal, dengan takut takut dan suara lirih aku berucap  “Aku orang Ambon” dan reaksi mereka selalu sama. “Pantas itam dan keriting rambutnya”.  Ada kesal dalam hati. Apa ada yang salah kalau hitam dan berambut keriting?
Perlahan aku jenuh dengan reaksi itu dan memilih jawaban lain jika ada yang bertanya. Dengan lantang aku akan menjawab bahwa aku orang Jawa. Tidak seratus persen salah, karena ibu memang berasal dari tanah Jawa. Tapi itu bukan berarti aku melupakan darah Ambon yang mengaliri tubuh. Dibesarkan dengan dua kultur yang berbeda, kultur Ambon dan Jawa yang pada beberapa hal sangat bertolakbelakang, membuat sifatku berwarna. Entah mengapa, sejak kecil aku lebih senang dengan panggilan sayang “nona” dibanding “mbak”. Aku pun lebih senang mendengar oma badonci lagu Ambon daripada mendengar nenek menyinden. 

Hidup di antara dua budaya, dua keyakinan, membuat aku mengerti arti toleransi sejak kecil. Bagaimana hidup harus dimaknai dengan menghormati satu sama lain, serta tidak memaksakan pendapat atau keyakinan masing-masing. Semua itu indah, damai. Keindahan itu semakin terasa ketika kami merayakan 2 hari raya bersama-sama, saling mengunjungi saudara saat natal dan juga lebaran tanpa ada rasa dendam atau berusaha menyakiti satu sama lain. 

Menurut cerita almarhum Oma, Oma berasal dari desa Batu Merah, Ambon. Desa yang indah di kota yang indah. Mendengar cerita beliau, aku hanya bisa menghayal seperti apa negeri indah itu. Khayalanku sebatas foto foto dan video lampau tentang oma, tanpa pernah berkunjung kesana. Harapan untuk bisa menginjakkan kaki di negeri Oma itu sempat pupus saat konflik berdarah di Ambon tahun 1999. Peristiwa itu membuat semua keluargaku mengungsi dari Ambon. Kata mereka, perang saudara lebih kejam dari perang melawan penjajah. Ketiadaan mereka di Ambon, maka alasan apa lagi yang bisa membawaku kesana? Ah….

Aku memang tidak besar dan lahir disana, tapi dibesarkan dengan budaya Ambon, juga dengan merah darah Ambon yang mengaliri tubuh, membuatku ikut menangis miris melihat beberapa peristiwa bentrok. Darah mereka yang tertumpah, adalah darah yang sama yang kupunya. Maka adalah sakit yang kurasa ketika melihat mereka saling melukai lagi. Aku yang karena persaudaraan lain, telah sempat menginjakkan kaki di bumi itu, menghirup aroma tanah Maluku, telah menikmati indahnya panorama pantai Ambon, sejuknya semilir angin pantai natsepa dan pantai liang, kini tertunduk bertanya “kenapa Ambon yang manis harus terluka lagi? Siapakah yang tidak punya hati mau merusak keindahannya?”

Sekarang, aku hanya mau teriak “BETA MALUKU, BETA BANGGA DENG MALUKU”. Meskipun kontribusiku belum banyak untuk Maluku, tapi  aku cinta. Dan tak mau Ambon Manise kembali terluka. Mari saling bergandeng tangan, jangan biarkan Ambon kembali terluka.

*19 mei dini hari, rindu ambon, rindu senja di ambon, rindu semua saudara qu di ambon, thanks to senja bwt obrolan singkatnya*

2 komentar:

Jejak Sang Musafir mengatakan...

orang ambon pertama injak kaki di tanah jawa liat kereta jalan, sambil kaget dia bilang "hi, ada besi marayap!, marayap saja dia jalang pu capat, bagemana kalo badiri?" =))

cheracau mengatakan...

@coretan tanpa titik: =)

Posting Komentar