Terlahir dengan darah ambon menglir di tubuh sempat membuat
diri ini minder semasa kecil. Postur tubuh yang cukup besar dibanding
teman-teman sebaya, kulit sawo matang dan rambut keriwil adalah ciri khasku. Dan karena ciri
itu, teman teman pria sering mengejek. Jika ada yang bertanya tentang asal,
dengan takut takut dan suara lirih aku berucap
“Aku orang Ambon” dan reaksi mereka selalu sama. “Pantas itam dan
keriting rambutnya”. Ada kesal dalam
hati. Apa ada yang salah kalau hitam dan berambut keriting?
Perlahan aku jenuh dengan reaksi itu dan memilih jawaban
lain jika ada yang bertanya. Dengan lantang aku akan menjawab bahwa aku orang
Jawa. Tidak seratus persen salah, karena ibu memang berasal dari tanah Jawa.
Tapi itu bukan berarti aku melupakan darah Ambon yang mengaliri tubuh.
Dibesarkan dengan dua kultur yang berbeda, kultur Ambon dan Jawa yang pada
beberapa hal sangat bertolakbelakang, membuat sifatku berwarna. Entah mengapa,
sejak kecil aku lebih senang dengan panggilan sayang “nona” dibanding “mbak”.
Aku pun lebih senang mendengar oma badonci lagu Ambon daripada mendengar nenek
menyinden.
Hidup di antara dua budaya, dua keyakinan, membuat aku
mengerti arti toleransi sejak kecil. Bagaimana hidup harus dimaknai dengan
menghormati satu sama lain, serta tidak memaksakan pendapat atau keyakinan
masing-masing. Semua itu indah, damai. Keindahan itu semakin terasa ketika kami
merayakan 2 hari raya bersama-sama, saling mengunjungi saudara saat natal dan
juga lebaran tanpa ada rasa dendam atau berusaha menyakiti satu sama lain.
Menurut cerita almarhum Oma, Oma berasal dari desa Batu
Merah, Ambon. Desa yang indah di kota yang indah. Mendengar cerita beliau, aku
hanya bisa menghayal seperti apa negeri indah itu. Khayalanku sebatas foto foto
dan video lampau tentang oma, tanpa pernah berkunjung kesana. Harapan untuk
bisa menginjakkan kaki di negeri Oma itu sempat pupus saat konflik berdarah di
Ambon tahun 1999. Peristiwa itu membuat semua keluargaku mengungsi dari Ambon. Kata
mereka, perang saudara lebih kejam dari perang melawan penjajah. Ketiadaan
mereka di Ambon, maka alasan apa lagi yang bisa membawaku kesana? Ah….
Aku memang tidak besar dan lahir disana, tapi dibesarkan
dengan budaya Ambon, juga dengan merah darah Ambon yang mengaliri tubuh,
membuatku ikut menangis miris melihat beberapa peristiwa bentrok. Darah mereka
yang tertumpah, adalah darah yang sama yang kupunya. Maka adalah sakit yang
kurasa ketika melihat mereka saling melukai lagi. Aku yang karena persaudaraan
lain, telah sempat menginjakkan kaki di bumi itu, menghirup aroma tanah Maluku,
telah menikmati indahnya panorama pantai Ambon, sejuknya semilir angin pantai
natsepa dan pantai liang, kini tertunduk bertanya “kenapa Ambon yang manis harus
terluka lagi? Siapakah yang tidak punya hati mau merusak keindahannya?”
Sekarang, aku hanya mau teriak “BETA MALUKU, BETA BANGGA
DENG MALUKU”. Meskipun kontribusiku belum banyak untuk Maluku, tapi aku cinta. Dan tak mau Ambon Manise kembali
terluka. Mari saling bergandeng tangan, jangan biarkan Ambon kembali terluka.
*19 mei dini hari, rindu ambon, rindu senja di ambon, rindu
semua saudara qu di ambon, thanks to senja bwt obrolan singkatnya*
2 komentar:
orang ambon pertama injak kaki di tanah jawa liat kereta jalan, sambil kaget dia bilang "hi, ada besi marayap!, marayap saja dia jalang pu capat, bagemana kalo badiri?" =))
@coretan tanpa titik: =)
Posting Komentar